(Arrahmah.id) – Hari Jumat, 8 Agustus 2025, menjadi hari yang bersejarah. Perdana Menteri “Israel”, Benyamin Netanyahu, mengumumkan hasil rapat dengan parlemen bahwa “Israel” memutuskan untuk mengambil alih secara penuh Gaza dengan mengerahkan kekuatan militer besar-besaran sebagai pukulan pamungkas. Keputusan ini agaknya dipengaruhi oleh keadaan Gaza yang semakin lemah.
Perang sudah berlangsung hampir dua tahun. Infrastruktur di Gaza sudah hancur. Penduduk Gaza dibuat kelaparan parah oleh “Israel” sebagai bentuk upaya pelemahan sistematis. Para pejuang pasti mengalami kelaparan juga. Amunisi pejuang juga makin menipis. Dan yang paling penting, 75% wilayah Gaza sudah dikuasai “Israel”.
Perjalanan panjang menguasai Gaza dan menaklukkan pejuang, dalam pandangan “Israel”, sudah sangat dekat dengan tujuan akhir. Ibarat mendaki gunung, puncaknya sudah sangat dekat, sudah terlihat dengan jelas, sepertinya tinggal beberapa langkah lagi akan sampai. Inilah waktu terbaik bagi “Israel” untuk memberi pukulan paling mematikan kepada Hamas dan teman-temannya.
Para pemimpin “Israel” sepertinya sedang dalam puncak nafsu, lupa daratan. Bagi mereka, momentum ini tak akan terulang. Untuk mencapai kondisi selemah ini, “Israel” juga sudah berkorban banyak. Ribuan tentaranya tewas, ekonominya hancur, dukungan internasional pudar, dan konflik internal kian tajam.
Pengorbanan sebesar ini alangkah sayang jika tak dilanjutkan dengan penguasaan Gaza secara total. Toh, hanya memerlukan beberapa langkah pamungkas. Mereka sudah tidak sabar merasakan hari kemenangan gemilang itu, lalu tersenyum puas dan berpesta meriah.
Hari Naas Firaun Merupakan Hari Paling Optimisnya
Firaun pernah merasakan gelora nafsu yang membuncah seperti itu. Nafsu untuk menghabisi Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya dengan tuntas tanpa tersisa satu pun. Firaun dalam posisi pasti menang, sedangkan Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya pasti kalah secara kalkulasi politik-militer.
Peristiwa ini dikisahkan Al-Qur’an dengan sangat dramatis. Musa ‘alaihis salam membawa pengikutnya melarikan diri dari Mesir setelah melewati rangkaian konflik panjang di dalam Mesir. Sudah tidak bisa lagi bertahan lebih lama di Mesir. Inilah upaya paling logis untuk menyelamatkan Bani Israil dari kezaliman Firaun.
Tentu saja Firaun tak membiarkan mereka lari begitu saja. Bagi Firaun, mereka pindah ke mana pun akan tetap menjadi ancaman bagi Mesir. Firaun melihat larinya mereka sebagai peluang terakhir menghabisi mereka secara total. Jika ditunda, momentum lepas. Ketika mereka sudah pindah jauh, akan lebih sulit bagi Mesir untuk mengejar mereka.
Apalagi jika di tempat baru mereka diikuti lebih banyak orang lalu makin kuat. Cepat atau lambat akan menjadi ancaman bagi kedaulatan Mesir. Firaun memutuskan untuk mengejar lalu menumpas mereka hingga punah. Disiapkan pasukan dengan senjata lengkap untuk mengejar mereka, dan Firaun ikut turun—barangkali untuk lebih memuaskan dendam.
Tatkala Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya sudah tampak dari kejauhan, Firaun makin yakin hari kemenangan gemilang itu akan segera tiba. Bahkan ketika tiba-tiba laut terbelah lalu menjadi jalur pelarian bagi Bani Israil, Firaun sudah kadung nafsu. Tanpa ragu ia memutuskan untuk mengejar, dengan mengabaikan risiko jika laut itu kembali menutup. Ia sudah lupa daratan, terlalu berambisi untuk menghabisi lawan. Persis seperti Netanyahu.
فَلَمَّا تَرَٰٓءَا ٱلۡجَمۡعَانِ قَالَ أَصۡحَٰبُ مُوسَىٰٓ إِنَّا لَمُدۡرَكُونَ (61) قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ (62) فَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنِ ٱضۡرِب بِّعَصَاكَ ٱلۡبَحۡرَۖ فَٱنفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرۡقٖ كَٱلطَّوۡدِ ٱلۡعَظِيمِ (63) وَأَزۡلَفۡنَا ثَمَّ ٱلۡأٓخَرِينَ (64) وَأَنجَيۡنَا مُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓ أَجۡمَعِينَ (65) ثُمَّ أَغۡرَقۡنَا ٱلۡأٓخَرِينَ (66) إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗۖ وَمَا كَانَ أَكۡثَرُهُم مُّؤۡمِنِينَ (67) – Asy-Syu‘ara’/26:61–67
Artinya:
61. Ketika kedua kelompok (barisan Musa ‘alaihis salam dan barisan Firaun) itu saling melihat, para pengikut Musa berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.”
62. Dia (Musa) berkata, “Tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku. Dia akan menunjukiku.”
63. Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut dengan tongkatmu itu.” Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar.
64. Di sanalah Kami dekatkan jarak dengan kelompok yang lain (Firaun dan bala tentaranya).
65. Maka Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya.
66. Kemudian, Kami tenggelamkan kelompok yang lain (Firaun dan bala tentaranya).
67. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.
Kondisi psikologis para pemimpin “Israel” saat ini mirip dengan kondisi psikologis Firaun dan para pejabatnya saat itu: sama-sama sedang dimabuk nafsu melampiaskan dendam kesumat.
Pencapaian 75% penguasaan wilayah Gaza itu sungguh sayang jika dihentikan. Seolah Allah sedang mengundang “Israel” untuk masuk dalam jebakan yang akan menenggelamkan mereka semua. Mereka sedang berada di puncak optimisme kemenangan gemilang, padahal dalam rencana takdir Ilahi, mereka sejatinya sedang berjalan menuju jurang kebinasaan.
Benar saja, ketika Firaun terlalu bernafsu dan mengabaikan risiko laut akan menutup kembali, mereka akhirnya benar-benar digulung laut tersebut.
Kita yakin, nafsu para pemimpin “Israel” untuk menghabisi Gaza dengan mengabaikan peringatan dari seluruh dunia, bahkan dari rakyatnya sendiri yang khawatir akan kematian para sandera tersisa, pasti haqqul yaqin akan berakhir menjadi malapetaka kehancuran buat “Israel”.
Sebuah sunnatullah yang pasti akan terulang, “dan kamu tidak akan mendapati sunnatullah itu berubah” – wa lan tajida lisunnatillahi tabdila.
Mengapa kita berani menyimpulkan dengan begitu yakin, tak ada keraguan sedikit pun? Jawabannya, karena perilaku rezim “Israel” terhadap pribumi pemilik tanah sama persis dengan perilaku Firaun terhadap Bani Israil zaman itu. Umat Islam Palestina adalah pemilik sah tanah, lalu dibantai dan diusir tanpa kesalahan.
Semua kezaliman yang dilakukan Firaun saat itu, sama persis dilakukan oleh “Israel” hari ini, bahkan lebih parah. Pertarungan antara kaum zalim melawan kaum tertindas, jika kaum tertindasnya sabar dan istiqamah di atas kebenaran, pasti akan diberi kemenangan oleh Allah. Ini merupakan sunnatullah yang tak akan pernah berubah.
Dan jika kita bahas sunnatullah ini dari sisi berbeda—sisi korban—juga akan menghasilkan kesimpulan yang sama. Simak ayat ini:
حَتَّىٰٓ إِذَا ٱسۡتَيۡـَٔسَ ٱلرُّسُلُ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُمۡ قَدۡ كُذِبُواْ جَآءَهُمۡ نَصۡرُنَا فَنُجِّيَ مَن نَّشَآءُۖ وَلَا يُرَدُّ بَأۡسُنَا عَنِ ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡمُجۡرِمِينَ – Yusuf/12:110
Artinya:
Sehingga, apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi (putus asa) dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa.
Ayat ini merupakan narasi sunnatullah yang pasti akan terjadi. Sunnatullah yang berlaku pada orang yang mengusung kebenaran—ayat ini melambangkannya dengan rasul.
Ketika para rasul sampai pada jalan buntu, tak tahu harus melakukan apa dalam menghadapi kaumnya yang mendustakan mereka dan menebar teror, barulah pertolongan Allah akan turun. Titik buntu itu disebut dengan titik putus asa oleh ayat.
Jika sudah sampai titik itu, terjadilah ending yang dramatis: kezaliman hancur dan kebenaran menang.
Gaza yang sudah 75% dikuasai “Israel”, kelaparan kian parah, nyaris seluruh bangunan sudah hancur, para pejuang sudah kelelahan berperang, senjata kian menipis, dan bantuan dari negeri-negeri Arab juga makin menjauh, tak ada yang bisa membantah bahwa inilah kondisi jalan buntu itu.
Allah memang menunggu perjalanan para pengusung kebenaran untuk sampai titik buntu, tatkala analisa akal sudah mentok dan semua upaya rasanya sudah tak ada hasil. Nah, jika kondisi ini sudah tercapai, pertolongan Allah akan datang dengan ajaib dan dramatis; semua mata dengan mudah akan melihat gambaran kuasa Allah tersebut.
Kita yakin—haqqul yaqin—dengan sunnatullah ini. Karena memang sunnatullah ini sudah pernah terjadi. Yaitu pada Musa ‘alaihis salam, yang meyakini sunnatullah ini tanpa ragu sedikit pun.
Lihatlah tatkala Musa ‘alaihis salam dikomplain oleh pengikutnya dengan kalimat yang tersirat nada keputusasaan. Komplain ini terjadi saat Musa ‘alaihis salam bersama pengikutnya eksodus dari Mesir.
Ketika kedua kelompok (barisan Musa yang dikejar dan barisan Firaun yang mengejar) itu saling melihat, para pengikut Musa berkata:
Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. (lihat ayat 61 di atas)
Kalimat “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul” menyiratkan nada memelas, bahwa kita pasti akan ditangkap semua. Sementara track record kebengisan Firaun sudah terkenal: ia pasti akan membantai tanpa belas kasihan semua yang tertangkap, tanpa kecuali.
Pasti ia melakukannya dengan brutal, tanpa peri kemanusiaan. Sungguh bayang-bayang horor yang mengerikan.
Lalu bagaimana Musa ‘alaihis salam menjawab curhat pengikutnya tersebut? Inilah jawabannya di ayat 62:
Dia (Musa) berkata, “Tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku. Dia pasti akan menunjukiku (jalan keluarnya).”
Musa ‘alaihis salam adalah seorang pemimpin yang tangguh, yakin, dan pemberani. Kalimat pengikutnya itu tak membuatnya terpengaruh lalu menjadi gentar. Ia justru membalikkan dengan nada optimisme.
Bukan hanya optimisme bombastis tanpa dasar, tapi dasarnya sangat jelas: keyakinan bulat secara akidah akan pertolongan Allah karena ia berada di jalan yang benar.
Bahwa Allah tak akan membiarkannya dihinakan oleh Firaun. Pasti Allah akan menolong, meski entah dengan cara apa dan kapan waktunya. Soal cara dan waktu, itu bukan urusan kita, tapi urusan Allah. Urusan kita hanya berusaha dan yakin.
Ternyata keyakinan Musa ‘alaihis salam terbukti. Dengan cara yang menakjubkan, di waktu yang akurat—tak lebih, tak kurang.
Andaikan waktunya telat dalam membelah laut, keburu kesusul Firaun. Andaikan telat dalam menutup kembali, Firaun dan bala tentaranya keburu sampai daratan. Andaikan terlalu cepat dalam menutup, rombongan Musa belum sampai daratan, akhirnya malah tenggelam.
Karena itu, biarkan Allah tentukan kapan waktunya dan bagaimana caranya. Urusan kita hanya berusaha—maksudnya meladeni perang lawan rezim “Israel”—lalu yakin akan ditolong oleh Allah.
Kali Ini Rasanya Sudah Sampai Titik Itu
Kita yang menyaksikan perang Gaza dari hari ke hari hingga hampir dua tahun, selalu bertanya-tanya dalam hati: “Kapan drama ini akan berakhir?” Juga pertanyaan: “Bagaimana bentuk kehancuran Israel, dan bagaimana kemenangan Gaza?”
Semuanya menggelayut, sulit dibayangkan. Jika mengikuti sunnatullah yang diterangkan ayat di atas:
Sehingga, apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi (putus asa) dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa. (Yusuf/12:110)
Maka ada dua tanda akan datangnya pertolongan Allah yang akan memenangkan rasul-Nya dan menghancurkan musuh-Nya.
Pertama: Para rasul sampai pada titik putus asa. Ini rasanya sudah terpenuhi di Gaza. Sudah nyaris mati kelaparan atau mati karena pembantaian. Keluar tidak bisa, yang dari luar juga tidak bisa masuk. Benar-benar killing zone.
Kedua: Mereka benar-benar telah didustakan. Maksudnya, disalahkan, bahkan dihujat. Kondisi ini ternyata juga sudah terjadi belum lama ini.
Berikut ini kutipan berita CNN Indonesia:
Sejumlah negara Arab, termasuk Qatar, Mesir, dan Arab Saudi, untuk pertama kalinya mengecam serangan Hamas ke “Israel” pada 7 Oktober 2023 lalu. Negara-negara tersebut juga meminta Hamas melucuti senjata dan mengakhiri kekuasaan mereka di Gaza. Serangan Hamas dua tahun lalu itu disebut memicu agresi brutal “Israel” ke Jalur Gaza Palestina hingga hari ini yang telah menewaskan lebih dari 60 ribu warga Palestina.
Kecaman negara-negara Arab ini tertuang dalam Deklarasi New York, yang merupakan hasil pertemuan dan Konferensi Tingkat Tinggi Internasional mengenai Implementasi Solusi Dua Negara di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, pada Senin (28/7) sampai Rabu (30/7). CNN Indonesia.
Hal yang mengejutkan, Indonesia ikut hadir dalam konferensi itu. Maknanya, negara-negara Arab sudah berani menampakkan sikap aslinya yang selama ini ditutupi. Menegaskan posisinya yang lebih berpihak kepada otoritas Palestina dibanding kepada para pejuang Gaza.
Dan negara-negara muslim non-Arab, yang setidaknya diwakili Indonesia, juga sudah ikut serta. Itu artinya dunia Islam sudah fix tidak bisa diharapkan untuk membantu Gaza. Alih-alih membantu, mereka malah kompak mengecam.
Berarti perjuangan Gaza sudah sampai pada dua syarat itu:
- Didustakan oleh teman-temannya sendiri, yaitu kecaman dari dunia Islam terhadap Hamas pada 30 Juli 2025.
- Para pejuang seolah tinggal menunggu palu godam terakhir dari militer “Israel”, dengan keluarnya pengumuman Netanyahu pada Jumat, 8 Agustus 2025 tersebut.
Praktis mereka tinggal punya Allah tempat bergantung. Seluruh usaha sudah mentok, sudah sampai pada titik putus asa.
Terpenuhinya dua syarat ini terjadi hampir bersamaan, hanya selisih delapan hari. Jika kita melihat tanda alam ini, rasanya akan segera terjadi peristiwa besar dan dramatis, seperti peristiwa penenggelaman Firaun dan bala tentaranya saat itu.
Tapi hanya Allah yang tahu kapan waktunya dan bagaimana bentuknya. Kita yakin sepenuhnya bahwa pertolongan Allah itu sedang berproses, tak ada keraguan sedikit pun.
Sambil kita terus mendoakan dengan sepenuh harapan, semoga para pejuang mendapat karunia kesabaran hingga tibanya janji Allah.
Wallahul-musta‘an.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
@elhakimi– 12/08/2025
(*/arrahmah.id)
Editor: Samir Musa