GAZA (Arrahmah.id) – Google dulu dikenal sebagai perusahaan yang membawa dunia lebih dekat lewat mesin pencari, Gmail, dan Android. Namun, dalam satu dekade terakhir, raksasa teknologi ini berubah wajah. Di balik citra inovasi dan “don’t be evil”-nya, Google kini berdiri sebagai salah satu pilar utama infrastruktur digital militer ‘Israel’.
Sejak 2006, Google menancapkan kukunya di ‘Israel’. Dari pusat R&D di Tel Aviv dan Haifa, kantor regional, hingga lebih dari 2.000 karyawan yang mayoritas bekerja untuk divisi Cloud. Proyek paling ambisiusnya: Project Nimbus, kontrak multi-miliar dolar dengan pemerintah ‘Israel’ untuk menyediakan layanan cloud. Infrastruktur ini kini menjadi tulang punggung sistem data negara, termasuk militer dan lembaga keamanan.
Akuisisi Beraroma Intelijen
Google juga agresif membeli perusahaan rintisan ‘Israel’. Puncaknya adalah akuisisi Wiz, startup keamanan cloud senilai $32 miliar pada 2025. Empat pendirinya? Mantan perwira Unit 8200, satuan intelijen elit ‘Israel’ yang dikenal dengan spionase massal terhadap warga Palestina. Selain Wiz, Google mengakuisisi Siemplify, Waze, dan Alooma, memperluas kendali atas data dan keamanan digital di kawasan.
Di atas kertas, Project Nimbus hanya kontrak komputasi awan. Faktanya, ia menyediakan alat-alat militer digital:
-
Vertex AI untuk analisis data berskala besar, termasuk pengenalan wajah.
-
Gemini AI untuk mendukung otomatisasi keputusan.
-
The Gospel, sistem eksklusif militer ‘Israel’, digunakan untuk merancang operasi tempur dan serangan udara di Gaza.
Dengan kata lain, cloud Google bukan sekadar penyimpanan data, tapi mesin targetting militer.
Kontribusi Ekonomi ke Mesin Perang
Keberadaan Google menyumbang langsung pada PDB ‘Israel’. Pajak, investasi, hingga transfer teknologi menguatkan ekosistem cybersecurity lokal yang erat kaitannya dengan militer. Singkatnya, setiap dolar yang Google tanamkan di ‘Israel’ memperkuat struktur pendudukan.
Ironisnya, Google pernah merumuskan Prinsip AI 2018: tidak boleh digunakan untuk senjata atau pengawasan yang melanggar HAM. Tapi kenyataannya, kontrak Nimbus justru melakukan hal sebaliknya. Sejumlah karyawan yang memprotes malah dipecat. Amnesty International menegaskan: “Google mengikis prinsip etiknya sendiri demi profit.”
Lewat program donation matching, Google bahkan mendukung organisasi pro-militer seperti Friends of the ‘Israel’ Defense Forces (FIDF) dan Hayovel, kelompok yang membiayai pemukim ilegal di Tepi Barat. Aliran dana ini memperkuat pasukan yang terlibat langsung dalam operasi militer maupun perluasan pemukiman ilegal.
Teknologi Google kini melekat pada sistem apartheid digital: pengawasan massal, penargetan militer, hingga operasi serangan udara. Laporan PBB menyebut keterlibatan perusahaan besar seperti Google sebagai bagian dari “joint criminal enterprise”, sebuah kolaborasi global yang membantu ‘Israel’ melakukan kejahatan perang dan genosida.
Google bukan lagi sekadar perusahaan teknologi. Ia kini berdiri sebagai aktor politik-militer yang menentukan hidup mati ribuan orang di Gaza. Setiap klik, setiap inovasi, bisa jadi bukan hanya untuk memudahkan hidup, tapi juga untuk menghapusnya. (zarahamala/arrahmah.id)