RIYADH (Arrahmah.id) — Imam Masjidil Haram di Mekkah, Syekh Dr. Saleh Al-Talib, telah dibebaskan setelah menghabiskan lebih dari tujuh tahun di penjara Saudi.
Menurut kelompok Prisoners of Conscience, seperti dilansir Taj Rights (28/9/2025), Syekh Saleh saat ini berada dalam tahanan rumah, dengan alat pelacak elektronik terpasang di pergelangan kakinya.
Syekh Saleh al-Talib ditangkap pada tahun 2018 setelah menyampaikan khotbah tentang kewajiban dalam Islam untuk menentang kejahatan di depan umum, yang dipahami berarti ia mengkritik Otoritas Hiburan Umum Saudi, dan ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Al-Thalib lahir di Riyadh, Arab Saudi, pada 1974. Ia berasal dari keluarga Hawtat Bani Tamim yang terkenal dengan kecerdasannya dalam ilmu pengetahuan, peradilan, ilmu Syariah, dan Al-Quran.
Dia juga merupakan alumni Universitas Imam Saudi. Selain itu, Al-Thalib mendapat gelar pascasarjana studi Perbandingan Yurisprudensi Islam, sebagaimana diberitakan Haramin Sharifian. Al-Thalib juga menamatkan gelar Magister Hukum Internasional dari Georgetown, Washington DC, AS. Tak heran jika ia fasih berbahasa Inggris.
Laki-laki berusia 48 tahun itu juga seorang hakim di Pengadilan Tinggi Mekkah. Namun, tak ada informasi lebih lanjut soal pengangkatan Al-Thalib. Selama menjadi hakim, ia disebut tak pernah menentang rezim Saudi. Namun, Al-Thalib keberatan dengan kebijakan baru yang dianggap sebagai pemaksaan terhadap masyarakat.
Aturan itu di antaranya soal pendudukan Israel di Palestina, penutup lembaga keagamaan untuk diganti dengan tempat hiburan, dan campur baur pria dan perempuan yang bukan muhrim di acara konser musik dan acara-acara lainnya.
Al-Thalib lantang menyuarakan penolakan perbaikan hubungan Saudi dan Israel. Ia mendesak agar masyarakat tetap mendukung Palestina. Ia menilai setiap orang yang berusaha memaksakan kehendak atas Yerusalem sedang berusaha menebar kekacauan, memicu kekerasan, menanam kebencian, dan memancing pertumpahan darah di kawasan itu. Menurutnya, hal-hal tersebut menimbulkan keretakan dalam masyarakat dan distorsi peradaban dunia.
Kritiknya memuncak pada 2018, saat ia menyampaikan khotbah yang berujung pada penangkapannya.
Ia pun melepaskan jabatannya sebagai imam Masjidil Haram yang sudah ia pegang sejak 2003.
Selama masa penahanannya, Al-Talib tidak mendapatkan akses ke pengadilan yang adil. Sidangnya diadakan secara rahasia, tanpa pengacara dan tanpa kesempatan untuk membela diri. Putusan awal membebaskannya karena kurangnya bukti, tetapi dibatalkan karena tekanan politik, dan ia diadili ulang serta dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara pada Agustus 2022. Di dalam penjara, ia menderita kondisi yang keras, pengabaian medis yang disengaja, dan pembatasan ketat terhadap keluarganya. (hanoum/arrahmah.id)