(Arrahmah.id) — Serangan brutal “Israel” ke Suriah pada 16 Juli lalu bukan yang pertama, namun yang paling dahsyat baik dari sisi bentuk maupun isi. Serangan udara “Israel” menjangkau wilayah Suwayda, Daraa hingga Damaskus, menargetkan langsung markas Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri Suriah, serta menghancurkan hampir seluruh bangunan Markas Besar Staf Umum di ibu kota.
Akibat serangan tersebut, bukan hanya kerugian materi yang terjadi, namun juga jatuhnya korban jiwa di kalangan pasukan keamanan, baik dari kalangan perwira maupun prajurit.
Namun, pidato Presiden Suriah, Ahmad Asy-Syaraa, yang disampaikan pada dini hari 17 Juli, menjadi penanda bahwa babak baru dalam konflik Suriah-“Israel” telah dimulai. Ia menyatakan bahwa pemerintahnya dihadapkan pada dua pilihan: “perang terbuka dengan entitas Israel yang akan mengorbankan kaum Druze dan mengguncang stabilitas Suriah serta kawasan,” atau “memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Druze untuk kembali kepada akal sehat dan mendahulukan kepentingan nasional.”
Asy-Syaraa menegaskan bahwa dirinya dan pemerintahnya telah “mendahulukan kepentingan rakyat Suriah di atas kekacauan dan kehancuran,” dan bahwa “pilihan paling tepat saat ini adalah mengambil keputusan yang cermat demi menjaga persatuan tanah air dan keselamatan rakyat berdasarkan kepentingan nasional tertinggi.” Maka diputuskanlah untuk menyerahkan keamanan di Suwayda kepada sejumlah faksi lokal dan tokoh agama setempat.
Dalam penjelasannya, Asy-Syaraa menyatakan bahwa langkah tersebut bertujuan menghindari terjerumusnya Suriah dalam perang baru yang luas, yang akan menjauhkan negara dari tujuan-tujuan besarnya dalam proses pemulihan dari kehancuran dan menghindarkannya dari krisis politik dan ekonomi yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya.
Namun terlepas dari kalkulasi untung-rugi, yang jelas kita sedang menyaksikan babak baru dari perang yang baru saja dimulai, dan dampaknya akan melampaui Suriah hingga mencakup kawasan sekitarnya, khususnya Turki.
Selama empat belas tahun perang Suriah, Turki terpapar risiko geopolitik dan keamanan yang besar, hingga harus mengerahkan pasukannya ke utara Suriah sejak tahun 2016, guna mencegah disintegrasi Suriah dan menggagalkan upaya Partai Pekerja Kurdistan (PKK) membentuk koridor separatis dari Qamishli di timur hingga pesisir Laut Tengah di barat.
Runtuhnya rezim Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024 merupakan kemenangan strategis besar, tidak hanya bagi pasukan revolusi, tetapi juga bagi Turki yang kini tengah bersiap memetik buah kemenangan itu baik secara strategis maupun keamanan.
Namun agresi militer “Israel” saat ini justru membuka potensi ancaman baru yang membayangi Suriah dan secara alami akan meluas hingga ke Turki.
Kesabaran Turki Telah Habis
Pernyataan Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, menunjukkan dengan jelas kemarahan Ankara. Ia mengatakan menanggapi serangan “Israel” ke Suriah: “Kesabaran kami telah habis. Itulah satu-satunya hal yang perlu dibicarakan dengan Israel. Mereka tidak menginginkan perdamaian.”
Apa makna dari pernyataan itu?
Sejak dimulainya Thufan Al-Aqsha dan agresi brutal “Israel” ke Gaza, disusul dengan serangan terhadap Lebanon, Suriah (baik di era Bashar maupun kini), dan baru-baru ini Iran, Turki telah memperkirakan bahwa kobaran api ini bisa mencapai wilayahnya suatu saat nanti.
Pernyataan resmi Presiden Erdogan dan pimpinan Partai Gerakan Nasionalis, Devlet Bahçeli, mengindikasikan kemungkinan terjadinya konfrontasi antara Turki dan “Israel” kapan saja.
Kekhawatiran inilah yang mendorong Bahçeli pada akhir 2024 untuk meluncurkan inisiatif menjadikan Turki bebas dari terorisme, yang kemudian diwujudkan dengan deklarasi pembubaran PKK dan penyerahan senjata, guna memperkuat konsolidasi internal.
Diskusi ini juga mencuat di kalangan jurnalis dan penulis konservatif serta nasionalis Turki, bahkan mencuat di media sosial oleh para aktivis dan influencer.
Keyakinan umum di Turki adalah bahwa konfrontasi dengan “Israel” bisa terjadi sewaktu-waktu, namun pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk menghindari atau menunda hal itu.
Fidan dalam pernyataannya menegaskan bahwa kebijakan “Israel” akan menyeret “semua pihak ke dalam api,” termasuk “Israel” sendiri. Ia meminta masyarakat internasional—terutama AS, Uni Eropa, dan negara-negara kawasan—untuk bertindak segera dan menghentikan pelanggaran “Israel”, atau mereka akan menanggung “konsekuensi berat.”
Kalimat-kalimat seperti “kesabaran telah habis”, “semua akan terbakar”, dan “konsekuensi berat” merupakan sinyal peringatan yang dikirim Ankara, terutama kepada AS, agar segera bertindak sebelum kawasan terjerumus ke dalam kekacauan akibat dukungan tanpa batas terhadap kebrutalan “Israel”.
Alternatif Langkah Turki
Turki tengah menghadapi situasi strategis yang sulit. Padahal, Ankara sangat membutuhkan stabilitas di front Suriah untuk beberapa tahun ke depan, dan menghindari konflik dengan AS hingga masa jabatan Presiden Trump berakhir. Tujuannya adalah menyelesaikan beberapa isu penting seperti pencabutan sanksi AS, pengembalian Turki ke program F-35, penyelesaian isu PKK, dan peningkatan kerja sama ekonomi.
Namun ambisi ekspansionis Netanyahu membuat perhitungan itu buyar dan memaksa Ankara menyesuaikan langkah.
Kehancuran struktur negara Suriah akan menjadi ancaman langsung terhadap keamanan nasional Turki, dan bahkan berdampak hingga ke ibu kota-ibu kota Eropa, sebagaimana yang terjadi selama empat belas tahun konflik sebelumnya.
Karena itu, Turki perlu mengambil sejumlah langkah strategis penting, di antaranya:
Pertama: Membangun posisi bersama dengan negara-negara kawasan. Negara-negara ini memiliki pengaruh global yang besar seperti kontrol atas energi, kekuatan finansial, dan jalur perdagangan utama.
Fidan mengindikasikan arah ini dengan mengatakan: “Kami bertemu dengan Yordania, Saudi, dan Amerika. Kami berdiskusi dan melakukan evaluasi serius. Semua pihak harus memahami dampak berbahaya dari Netanyahu bagi kawasan.”
Setelah serangan “Israel” ke Iran, Turki segera mengadakan pertemuan OKI di Istanbul. Saat ini, Suriah membutuhkan dukungan solidaritas yang serupa, yang juga sekaligus menjadi bentuk dukungan terhadap keamanan nasional Turki.
Kedua: Turki harus segera menyelesaikan isu keberadaan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Keberadaan kelompok separatis ini di perbatasan Turki merupakan ancaman besar, terutama karena keterkaitan mereka dengan “Israel”, yang sedang berupaya menciptakan koridor aman dari selatan ke timur laut Suriah.
Milisi ini terbukti terlibat dalam kerusuhan seperti yang terjadi di Suwayda, juga di pesisir Suriah pada Maret lalu. Mereka tampaknya tengah menunggu hingga Trump lengser dan digantikan oleh presiden dari Partai Demokrat yang dikenal memiliki hubungan lebih baik dengan mereka.
Turki menyadari hal ini dengan sangat jelas. Fidan memperingatkan keras: “Ada rumor tentang keterlibatan YPG dalam aktivitas tertentu. Pesan kami kepada mereka adalah untuk tidak memanfaatkan kekacauan ini, dan bersikap kooperatif. Kalau tidak, oportunisme semacam itu akan menimbulkan risiko besar.”
Jika kelompok-kelompok ini menolak solusi damai, Turki mungkin harus menanganinya sendiri, bahkan jika harus bekerja sama dengan pasukan pemerintah Suriah.
Ketiga: Menandatangani perjanjian pertahanan bersama dengan pemerintah Suriah, yang akan melegalkan keberadaan militer Turki, serta memberikan hak kepada Turki untuk melatih dan membangun kembali militer Suriah.
Meski wacana ini telah lama dibahas sejak tumbangnya rezim Bashar, berbagai sensitivitas regional menghambat pelaksanaannya. Namun agresi brutal “Israel” menunjukkan pentingnya perjanjian semacam ini, baik untuk melindungi Suriah maupun menjamin keamanan nasional Turki.
Kesimpulan:
Serangan “Israel” baru-baru ini ke Suriah merupakan peringatan dini bagi Turki untuk segera mengambil langkah-langkah penting guna mencegah kemungkinan pecahnya konfrontasi langsung dengan “Israel”, yang dapat terjadi kapan saja.
Catatan: Artikel ini diterjemahkan dari Aljazeera.net berjudul Arab asli: “ماذا يعني نفاد صبر تركيا تجاه إسرائيل؟”, ditulis oleh Samir al-Ariki.
(*/arrahmah.id)
Editor: Samir Musa