Beberapa hari lalu, Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, menyampaikan proposal untuk mengakhiri apa yang ia sebut sebagai “Perang Gaza”.
Seperti para presiden AS sebelumnya, khususnya dalam satu abad terakhir, Donald Trump selalu menampakkan kesombongan atas dunia. Seolah-olah lisannya berkata: “Ana Rabbukumul A’la” (Aku adalah Tuhan kalian yang Maha Tinggi), mengulang ucapan Fir’aun Mesir pada zaman Nabi Musa ‘Alaihissalaam. Pesannya jelas: jika Hamas tidak mengikuti perintahnya, maka mereka akan disiksa atau dimusnahkan.
Namun, sejak dari judulnya saja, pernyataan itu sudah keliru. Di Gaza bukanlah perang seperti yang dinyatakan Trump, PM penjajah Netanyahu, maupun hampir seluruh pemimpin dunia. Di Gaza dan di seluruh bumi Palestina terjadi penjajahan yang bermula dari konspirasi Inggris dan Prancis sejak 1917, melalui perjanjian Sykes-Picot (1916) untuk memecah belah negeri-negeri Islam di akhir masa Khilafah Utsmaniyah. Kesepakatan itu juga disetujui Kerajaan Tsar Rusia, lalu diperkuat oleh Deklarasi Balfour 1917 yang mendukung Palestina menjadi negara Yahudi.
Pada 1948, Inggris menyerahkan tanah Palestina kepada mafia Zionis internasional. David Ben Gurion kemudian mendeklarasikan berdirinya negara haram “Israel” di atas bumi Palestina, yang langsung diakui Amerika, negara-negara Eropa, dan sekutunya.
Oleh sebab itu, apa yang mereka namakan Perang Gaza bukanlah dimulai pada 7 Oktober 2023. Hamas pun bukan pihak yang memulainya. Hamas dan kelompok jihad lainnya hanyalah para pejuang kemerdekaan Palestina yang meneruskan perjuangan sejak syahidnya Izzuddin al-Qassam hampir seabad lalu, bersamaan dengan invasi Inggris dan Prancis lebih dari 100 tahun silam.
Perbedaannya, sebelum Thufanul Aqsha 7 Oktober 2023, hampir seluruh dunia termakan propaganda Zionis Yahudi dan pemerintah Barat. Namun, dalam dua tahun terakhir, sejak genosida Zionis atas Gaza, opini dunia mulai berubah. Semua itu terjadi atas kehendak Allah.
Diprediksi, dalam tahun-tahun mendatang, perlawanan masyarakat dunia terhadap penjajahan Zionis atas Palestina akan semakin besar. Begitu pula wajah asli Donald Trump dan hakikat pemerintahan Amerika—yang dikendalikan mafia Zionis—akan semakin mudah terbaca.
Amerika: Teroris Terbesar dalam Sejarah
Seorang penulis bernama Muhammad Mouro dalam bukunya Jara’im Amrika wa al-Gharb (Kejahatan Amerika dan Eropa) membongkar fakta kejahatan Amerika. Dalam salah satu bab berjudul Amerika Adalah Teroris Terbesar dalam Sejarah (hlm. 43–45), ia menjelaskan:
Jika kita sepakat bahwa kekerasan tanpa alasan moral—yaitu tidak digunakan untuk menangkal agresi, membebaskan tanah, menjaga kehormatan, atau memberantas kezaliman—tidak dapat dibenarkan, maka jelaslah Amerika adalah negara teroris terbesar.
Amerika dibangun oleh imigran Eropa—sekitar 112 juta jiwa—melalui perbudakan, penaklukan penduduk asli (Indian), dan eksploitasi tenaga mereka untuk menggerakkan mesin produksi. Kejahatan itu terus berlanjut melalui agresi Amerika terhadap banyak negara di dunia. Dengan nilai dan struktur budayanya, Amerika hari ini adalah pencipta terorisme global.
Contohnya, Kongres AS mengesahkan lebih dari 60 undang-undang untuk menghukum negara-negara yang tidak mematuhi kebijakan AS. Bukankah ini terorisme dan intervensi terang-terangan dalam urusan internal bangsa lain? Dengan hak apa Amerika menentukan kebijakan negara lain, lalu memberi wewenang pada pemerintahannya untuk menjatuhkan sanksi ekonomi atau intervensi militer?
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika diperkirakan telah menghabiskan $950 miliar untuk kegiatan amoral: pembunuhan pemimpin, merencanakan kudeta, memalsukan pemilu di negara lain, hingga pencemaran nama tokoh-tokoh dunia. Angka sebesar itu seharusnya mampu memajukan benua Afrika.
Data menunjukkan, Amerika telah berupaya menggulingkan rezim di 127 negara, mencoba membunuh 54 pemimpin nasional, dan memicu perang saudara di 85 negara. Menurut Pentagon, antara 1980–1985 saja Amerika terlibat dalam 17 operasi di Timur Tengah, termasuk pembunuhan 200.000 warga Irak, memicu perang Kurdi, kelaparan jutaan anak-anak Irak, hingga pembantaian 10.000 warga Somalia.
Budaya Kekerasan di Dalam Negeri
Di masyarakatnya sendiri, terorisme, kekerasan, dan rasisme sudah menjadi ciri. Amerika dibangun di atas kekerasan, genosida, dan pragmatisme. Warganya hidup dalam lingkaran kekejaman penembakan massal, bahkan di sekolah.
Statistik mencatat, pada 1991 saja ada 38.317 orang dibunuh dengan senjata api. Tahun 1994, jumlah narapidana di AS mencapai lebih dari satu juta—tertinggi di dunia—sementara jumlah senjata api milik individu diperkirakan 211 juta unit.
Studi Departemen Pendidikan AS di 1.200 sekolah menemukan 11.000 serangan bersenjata, 1.000 perampokan, dan 4.000 kasus kekerasan seksual pada 1997. Namun, 43% sekolah gagal melaporkan insiden tersebut. Kasus Jones Park menunjukkan bagaimana anak-anak usia 11 dan 13 tahun menembaki teman sekelasnya, menewaskan empat siswa dan seorang guru.
Milisi bersenjata juga marak. Tercatat ada 350 milisi dengan anggota antara 50.000–150.000 orang, menghabiskan dana hingga $100 juta per tahun.
Penutup
Dengan semua fakta ini, masihkah kita percaya pada bualan Donald Trump dan Netanyahu bersama pejabat-pejabat mereka? Tidak ada yang mempercayainya kecuali orang yang mati hati dan akalnya.
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa atas urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 21)
(*/samirmusa)
Editor: Samir Musa