1. Opini
  2. Geopolitik

Aaron Bushnell, Elias Rodriguez, Charlie Kirk dan “Perang Intra Peradaban” di Amerika

Oleh Al Chaidar Abdurrahman Puteh Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Sabtu, 13 September 2025 / 21 Rabiul awal 1447 17:56
Aaron Bushnell, Elias Rodriguez, Charlie Kirk dan “Perang Intra Peradaban” di Amerika
Aaron Bushnell, Elias Rodriguez, Charlie Kirk

(Arrahmah.id) – Aaron Bushnell, seorang anggota aktif Angkatan Udara AS berusia 25 tahun, melakukan bakar diri pada 25 Februari 2024 di luar Kedutaan Besar Israel di Washington, D.C. Aksi ini adalah bentuk protesnya terhadap apa yang ia sebut sebagai keterlibatan AS dalam genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. Sebelum aksinya, ia menyiarkan langsung pernyataan yang menegaskan bahwa ia tidak akan lagi “terlibat dalam genosida.”

Elias Rodriguez tidak melakukan bakar diri, melainkan melakukan penembakan fatal. Pada 21 Mei 2025, ia menembak dua staf kedutaan Israel, Yaron Lischinsky dan Sarah Lynn Milgrim, di luar sebuah acara di Capital Jewish Museum di Washington, D.C. Setelah ditahan, Rodriguez dilaporkan berteriak “Free, free Palestine!” dan kemudian mengaku kepada penyidik bahwa dia melakukannya “untuk Gaza.”

Peristiwa ini memiliki kemiripan dengan kasus Aaron Bushnell karena motivasi protesnya, tetapi metodenya sangat berbeda. Penyelidikan juga menemukan bahwa Rodriguez mengagumi Aaron Bushnell dan menyebutnya sebagai “martir.”

Peristiwa seperti yang dilakukan oleh Aaron Bushnell dan Elias Rodriguez, bersama dengan perdebatan yang dipicu oleh tokoh seperti Charlie Kirk, dapat dianalisis sebagai manifestasi dari “perang intra peradaban” di Amerika. Istilah ini merujuk pada perpecahan internal yang mendalam, di mana nilai-nilai dan pandangan yang bertentangan saling berhadapan di dalam masyarakat yang sama.

Perpecahan Generasional dan Ideologis

Konflik Israel-Palestina telah menciptakan jurang pemisah yang signifikan antara generasi muda Amerika, yang cenderung lebih kritis terhadap kebijakan Israel dan kebijakan luar negeri AS, dengan generasi yang lebih tua yang secara tradisional lebih mendukung Israel. Perbedaan ini tidak hanya terbatas pada masalah geopolitik, tetapi juga mencerminkan pandangan yang berbeda tentang keadilan sosial, hak asasi manusia, dan peran Amerika di dunia.

Disparitas antara Pemerintah dan Rakyat

Aksi protes yang ekstrem, seperti bakar diri, menunjukkan tingkat keputusasaan dan rasa keterasingan yang mendalam. Para pengunjuk rasa merasa bahwa saluran-saluran politik konvensional tidak efektif dalam mengubah kebijakan luar negeri AS. Hal ini mencerminkan persepsi bahwa pemerintah tidak lagi mewakili kehendak sebagian besar rakyatnya, melainkan hanya melayani kepentingan elit politik dan ekonomi.

Konflik dalam Ruang Informasi

Berbagai pihak di Amerika, dari media tradisional hingga platform media sosial, menyajikan narasi yang sangat berbeda dan seringkali bertentangan tentang konflik di Gaza. Ini menciptakan medan pertempuran informasi, di mana fakta, interpretasi, dan emosi saling bersinggungan. Akibatnya, sulit bagi masyarakat untuk menemukan landasan bersama, sehingga memperdalam polarisasi.

Istilah “genosida Palestina” merujuk pada tuduhan bahwa tindakan Israel di Gaza, terutama sejak serangan 7 Oktober, merupakan upaya sistematis untuk menghancurkan sebagian atau seluruh bangsa Palestina.

Definisi genosida diatur dalam Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida. Menurut konvensi ini, genosida adalah tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial, atau agama.

Saat ini, tuduhan genosida terhadap Israel sedang ditinjau oleh Mahkamah Internasional (ICJ) setelah Afrika Selatan mengajukan gugatan pada akhir 2023. Afrika Selatan menuduh bahwa tindakan militer Israel di Gaza, termasuk pembunuhan massal, menyebabkan kelaparan dan pengungsian paksa, memenuhi kriteria kejahatan genosida. Israel membantah tuduhan ini dan berpendapat bahwa tindakannya adalah pertahanan diri terhadap Hamas.

Banyak pengamat, organisasi hak asasi manusia, dan bahkan beberapa pejabat pemerintah berpendapat bahwa Amerika Serikat (AS) secara konsisten mendukung kebijakan Israel, yang oleh para kritikus disebut sebagai sistem “apartheid” terhadap Palestina. Dukungan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari bantuan militer, dukungan diplomatik, hingga kerja sama intelijen.

Amerika Serikat adalah salah satu penyedia bantuan militer terbesar untuk Israel. Sejak 1946 hingga 2024, Israel telah menerima sekitar $228 miliar dalam bentuk bantuan militer dari AS, menjadikannya penerima terbesar dalam sejarah. Bantuan ini seringkali diformalkan melalui Memorandum of Understanding (MOU) jangka panjang. Sebagai contoh, di bawah MOU 10 tahun yang dimulai pada 2019, AS menyediakan setidaknya $3,8 miliar per tahun untuk bantuan militer. Dukungan ini terus berlanjut, bahkan ketika terjadi ketegangan dengan kebijakan Israel.

AS secara historis menggunakan kekuatan diplomatiknya untuk melindungi Israel dari kritik internasional, terutama di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). AS telah menggunakan hak veto mereka di Dewan Keamanan PBB sebanyak 42 kali untuk memblokir resolusi yang mengutuk Israel, dari total 83 kali hak veto AS digunakan. Hal ini seringkali membuat AS dan Israel terisolasi dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB, di mana banyak negara mendukung resolusi yang kritis terhadap Israel.

Meskipun pemerintah AS secara konsisten memberikan dukungan, opini publik di AS semakin terpecah. Beberapa jajak pendapat menunjukkan bahwa dukungan publik terhadap kebijakan militer Israel, terutama di kalangan anak muda dan Partai Demokrat, telah menurun drastis. Perbedaan pandangan ini menciptakan ketegangan domestik dan menunjukkan adanya perpecahan dalam masyarakat AS sendiri terkait isu tersebut.

Gagasan “perang intra peradaban” yang saya sebutkan, di mana konflik terjadi di dalam masyarakat AS, sangat relevan untuk menjelaskan perpecahan yang dipicu oleh konflik Israel-Palestina. Ini memang melampaui gagasan Samuel Huntington tentang “benturan peradaban,” karena perpecahan yang terjadi bukan antara dua peradaban yang berbeda, melainkan antara faksi-faksi yang saling bertentangan di dalam peradaban yang sama, yaitu Amerika Serikat.

Perbedaan Pandangan Moral dan Kemanusiaan

Peristiwa seperti tindakan Aaron Bushnell dan Elias Rodriguez dapat dilihat sebagai perwujudan ekstrem dari perpecahan ini. Tindakan mereka, meskipun sangat berbeda dalam metode, memiliki satu kesamaan: mereka didorong oleh apa yang mereka yakini sebagai keharusan moral untuk menentang kebijakan yang mereka anggap tidak etis dan kejam. Ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang mendalam antara kelompok yang memprioritaskan hak asasi manusia universal dan mereka yang memandang konflik melalui lensa geopolitik serta loyalitas tradisional.

Di satu sisi, ada kelompok yang melihat dukungan AS terhadap Israel sebagai tindakan yang tidak bermoral, karena mereka yakin bahwa itu berkontribusi pada penderitaan rakyat Palestina, yang mereka sebut sebagai “genosida” atau “apartheid.” Kelompok ini menganggap bahwa mereka berada di sisi yang benar secara moral, dan merasa kecewa dengan kegagalan pemerintah mereka untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Di sisi lain, ada kelompok yang, seperti Charlie Kirk, mendukung Israel, seringkali dengan alasan keamanan, geopolitik, atau keyakinan agama. Mereka melihat tindakan Israel sebagai pertahanan diri yang sah, dan menganggap protes pro-Palestina, terutama yang ekstrem, sebagai ancaman bagi keamanan dan nilai-nilai Barat.

Pergeseran Jarak antara Publik dan Pemerintah

Seperti yang saya sebutkan, semakin banyak rakyat AS, terutama anak muda, yang merasa bahwa pemerintah mereka tidak lagi mewakili mereka. Mereka merasa bahwa pemimpin politik, yang didorong oleh lobi dan kesepakatan politik, mengabaikan seruan publik untuk perubahan. Perasaan ketidakberdayaan ini dapat memicu tindakan ekstrem, yang pada gilirannya memperdalam polarisasi dan memperburuk “perang intra peradaban.”

Faktanya, banyak peradaban besar dalam sejarah tidak hancur karena serangan dari luar, melainkan karena perpecahan dan konflik internal. Ini sering disebut sebagai “kehancuran dari dalam.” Perang internal ini bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari ketidaksetaraan ekonomi yang ekstrem, korupsi politik, hingga perpecahan moral dan sosial.

Salah satu contoh paling terkenal adalah Kekaisaran Romawi Barat. Keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat, meskipun sering dianggap hancur oleh invasi suku-suku barbar, banyak sejarawan berpendapat bahwa keruntuhan itu sudah dimulai dari dalam. Kekaisaran mengalami ketidakstabilan politik yang parah, dengan suksesi kaisar yang sering kali diwarnai oleh pembunuhan dan kudeta. Selain itu, kesenjangan antara orang kaya dan miskin sangat besar, dan beban pajak yang berat memicu kerusuhan di kalangan rakyat jelata.

Peradaban Maya di Mesoamerika juga merupakan contoh yang menarik. Para ilmuwan percaya bahwa runtuhnya Peradaban Maya ini tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan oleh kombinasi dari berbagai tekanan internal. Konflik antar kota-negara yang terus-menerus, kekeringan parah yang diperparah oleh deforestasi, dan ketidakstabilan sosial-politik semuanya berperan dalam kehancuran masyarakat mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana tekanan lingkungan dan perpecahan internal dapat saling memperkuat.

Contoh yang lebih modern adalah Perang Saudara Spanyol (1936–1939). Konflik ini bukan invasi asing, tetapi perang brutal antara dua faksi di dalam Spanyol: kaum Republikan dan Nasionalis. Perang ini menghancurkan negara dan masyarakatnya, meninggalkan luka mendalam yang bertahan selama puluhan tahun. Perang saudara ini menunjukkan bagaimana perbedaan ideologi dan politik yang ekstrem dapat memicu konflik internal yang menghancurkan suatu bangsa.

(*/arrahmah.id)

Editor: Samir Musa